Ah.. liburan memang hal yang sangat membosankan. Iseng2 aku membuka buku memori zaman SMA dulu. Terpampang kembali saat lugu bersama teman2, gak terasa waktu sudah berlalu begitu cepat dan kini yang tertinggal hanyalah kenangan. Jadi inget tempo dulu pas di SMA aku dan teman2 OSIS ngadain pameran lukisan cete. Meriaaaah banget ampe mengundang pihak jawa pos datang segala. Namun, dari sekian banyaknya lukisan yang terpampang. Ada satu lukisan yang mencolok dan menjadi sorotan publik. Kalian tau judulnya apa?.... judulnya adalah “berdzikir bersama inul”.
Seperti terhadap inul sendiri lukisan itu terus berputar, mencoba mengebor isi kepala semua orang yang melihatnya. Jujur saja, selama ini saya termasuk orang yang resah dengan perkembangan manusia Indonesia yang seperti tak sadar2 akan adanya hegemoni dunia/ materi atas “kepalanya”. Ketika orde baru menerapkan secara serampangan system kapitalis di negeri pancasila ini, manusianya pun semakin terbentuk sebagai manusia materialistis seperti amerika. Manusia yang fikiran dan perhatianya terpusat kepada kepentingan duniawi dan cenderung hanya memanjakan raga, jasad, badan, jasmani, daging lalu mengabaikan jiwa ,ruh, dan nurani.
Kita secara resmi selalu menyanyikan “BANGUNLAH JIWANYA, BANGUNLAH BADANYA” namun badan saja yang terus kita bangun. Kitapun menjadi manusia yang berpenampilan “modern” namun dengan isi kepala yang primitive. Gagah secara lahir dan keropos di batin. Lihatlah !!! kita panic setengah mati, dengan segala yang diduga mengancam jasmani kita. Padahal sering kali semua itu justru akibat ulah kita sendiri yang dipengaruhi pandangan hidup serba daging. Sementara terhadap hal2 yang mengancam jiwa dan nurani, kita tampak ayem2 saja. Kebejatan2 yang terjadi di sekitar kita. Kiranya hanya hasil logis dari itu semua. Korupsi yang meraja lela dan tidak kunjung menyentuh rasa malu para pelakunya, berdesak2 berebut jabatan dan kekuasaan tanpa memikirkan tanggung jawab dan amanahya, berkelahi sesame saudara secara bengis, premanisasi yang semakin membudaya, kemunafikan yang terus dipamerkan secara fasih, sampai dengan masalah pornografi, narkoba dan kriminalitas lainya adalah keniscayaan yang tidak ungkin diberantas kecuali dengan rahmat Alloh.
Dalam kehidupan keberagamaan pun, warna daging itu tampak kental. Pembangunan peribadahan hanya dimengerti sebagai pembangunan fisikk. Dimana mana masjid indah dibangun, bahkan terkadang satu kampong dibangun beberapa masjid indah dan megah. Sementara itu jarang sekali yang menengok tentang isi2 masjid itu. Masjid2 akbar hanya akan agak penuh 1 th 2 kali dan seminggu sekali dalam beberapa jam atau menit saja. Syiar islam diciutkan hanya sebagai pengeras suara. Pelajaran agama yang diperjuangkan mati – matian oleh para pejuang muslim untuk diajarkan disekolah2 tidak pernah ditengok atau difikirkan apakah pelajaran2 itu merupakan pelajaran2 inti agama yang dapat membawa anak didik menjadi umat beragama yang saleh, atau sekedar pelajaran2 daging yang hanya untuk memperoleh nilai2 daging dalam rapor yang daging.
Bila islam dimengerti hanya sebagai daging tanpa ruh, maka orang islam pun akan dapat dengan mudah berkelahi dengan saudaranya sendiri sesama orang islam. Misalnya seperti kita ketahui orang islam ada 2. Mukmin dan munafik. Mukmin sejati ditandai dengan banyak berdzikir, sedangkan munafik hanya sedikit berdzikir. Lalu bagaimana orang bias berdzikir hanya dengan daging?
Bagi saya, fenomena inul adalah sindiran tuhan kepada kita, manusia serba daging ini. Inul adalah symbol daging paling daging. Kepala yang penuh daging, meski disorbani segede ban radial, hanya akan melihat daging inul sebagai daging. Inul agaknya diciptakan tuhan untuk mengebor kepala kita yang error.
Belakangan rupanya Alloh tidak lagi menyindir, tapi sudah member pelajaran yang luar biasa, semacam shock terapi. Dalam wujud tindakan biadab amerika dan kroni2nya terhadap kemanusiaan di irak. Itulah wajah asli imperialisme yang selama ini kita jadikan kiblat peradaban dan kita jadikan teladan hidup. Hanya karena mengincar cadangan minyak timur tengah, menjaga kepentinganya di Israel, dan dollarnya. Amerika dan kroni2nya menghalalkan segala cara dan mengabaikan nurani dunia. Lalu hamper bersamaan, kitapun dipanikan dengan apa yang disebut SARS , wabah yang mengancam daging kita.
Tinggal kita, apakah kita bisa mencerdasi berbagai sindiran dan pelajaran dari tuhan itu lalu sadar dan kembali kepada ajaraNya. Ataukah itu semua tak berarti apa2 bagi kita dan kita tetap bersikukuh mempertahankan pandangan hidup yang serba duniawi seperti sekarang ini?